Powered By Blogger

Selasa, 06 Maret 2012

Pengelolaan sampah


Pengelolaan sampah
}  Teknik-teknik pemrosesan dan pengolahan sampah:
− Pemilahan sampah, baik secara manual maupun secara mekanis berdasarkan jenisnya
− Pemadatan sampah (baling)
− Pemotongan sampah
− Pengomposan sampah baik dengan cara konvensional maupun dengan rekayasa
− Pemrosesan sampah sebagai sumber gas-bio
− Pembakaran dalam Insinerator, dengan pilihan pemanfaatan enersi panas
}  Pemanfaatan enersi sampah dapat dilakukan dengan cara:
a. menangkap gasbio hasil proses degradasi secara anaerobik pada sebuah reaktor (digestor)
b. menangkap gas bio yang terbentuk dari sebuah landfill
c. menangkap panas yang keluar akibat pembakaran, misalnya melalui insinerasi

}  Proses pengomposan (composting) adalah proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap bahan organik yang biodegradable, atau dikenal pula sebagai biomas.
}  Pengomposan dapat dipercepat dengan mengatur faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga berada dalam kondisi yang optimum untuk proses pengomposan.
}  Secara umum, tujuan pengomposan adalah:
a. Mengubah bahan organik yang biodegradable menjadi bahan yang secara biologi bersifat stabil
b. Bila prosesnya pembuatannya secara aerob, maka proses ini akan membunuh bakteri patogen, telur serangga, dan mikroorganisme lain yang tidak tahan pada temperatur di atas temperatur normal
c. Menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah
}  Beberapa manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah adalah:
− Memperkaya bahan makanan untuk tanaman
− Memperbesar daya ikat tanah berpasir
− Memperbaiki struktur tanah berlempung
− Mempertinggi kemampuan menyimpan air
− Memperbaiki drainase dan porositas tanah
− Menjaga suhu tanah agar stabil
− Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara
− Dapat meningkatkan pengaruh pupuk buatan
}  Kompos kurang tepat bila disebut sebagai pupuk, walaupun dikenal pula sebagai pupuk organik, karena zat hara yang dikandungnya akan tergantung pada karakteristik bahan baku yang digunakan.
}  Klasifikasi pengomposan antara lain dapat dikelompokkan atas dasar:
a. Ketersediaan oksigen:
− Aerob bila dalam prosesnya menggunakan oksigen (udara)
− Anaerob bila dalam prosesnya tidak memerlukan adanya oksigen
b. Kondisi suhu:
− Suhu mesofilik: berlangsung pada suhu normal, biasanya proses anaerob
− Suhu termofilik: berlangsung di atas 40oC, terjadi pada kondisi aerob
c. Teknologi yang digunakan:
− Pengomposan tradisional (alamiah) misalnya dengan cara windrow
− Pengomposan dipercepat (high rate) yang bersasaran mengkondisikan dengan rekayasa lingkungan proses yang mengoptimalkan kerja mikroorganisme, seperti pengaturan pH, suplai udara, kelembaban, suhu, pencampuran, dsb.
}  Pengomposan aerobik lebih banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan lebih cepat, temperatur proses pembuatannya tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur cacing, sehingga kompos yang dihasilkan lebih higienis.

Biasanya proses pengomposan dilakukan secara aerob.
Secara umum, transformasi umum buangan aerob dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Input: Materi organik + O2 + nutrisi + bakteri
- Materi organik belum terdegradasi + biomass sel bakteri + CO2 + H2O + NH3 + ........ + panas
Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan, antara lain:
a. Bahan yang dikomposkan: apakah mudah terurai atau sulit terurai, misalnya makin banyak kandungan kayu atau bahan yang mengandung lignin, maka akan makin sulit terurai
b. Mikroorganisme: mikroorganisme seperti bakteri, ragi, jamur yang sesuai dengan bahan yang akan diuraikan akan dapat menguraikan bahan organik
c. Ukuran bahan yang dikomposkan : bila ukuran sampah makin kecil, akan makin luas permukaan, sehingga makin baik kontak antara bakteri dan materi organik, akibatnya akan makin cepat proses pembusukan. Namun bila diameter terlalu kecil, kondisi bisa menjadi anaerob karena ruang untuk udara mengecil. Diameter yang baik adalah antara (25-75) mm.
d. Kadar air :
− Timbunan kompos harus selalu lembab, biasanya sekitar nilai 50-60%. Nilai optimum adalah = 55%, kurang lebih selembab karet busa yang diperas.
− Adanya panas yang terbentuk, menyebabkan air menguap, sehingga tumpukan menjadi kering.
− Bila terlalu basah, maka pori-pori timbunan akan terisi air, dan oksigen berkurang sehingga proses menjadi anaerob. Biasanya pengadukan atau pembalikan kompos pada proses konvensional akan mengembalikan kondisi dalam timbunan menjadi normal kembali. Bulking agent, seperti zeolit, dedak atau kompos matang, banyak digunakan untuk mempertahankan kadar air agar tidak terlalu lembab.
− Timbunan akan berasap bila panas mulai timbul. Pada saat itu bagian tengah tumpukan dapat menjadi kering, dan proses pembusukan dapat terganggu.
− Untuk mengukur suhu secara mudah, tancapkan bambu ke tengah tumpukan. Bila bambu basah dan hangat, serta tidak berbau busuk, maka proses pengomposan berjalan dengan baik.
− Kadang-kadang diperlukan penambahan air ke dalam timbunan setiap 4 – 5 hari sekali. Sebaliknya, untuk daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi, maka timbunan kompos harus dilindungi dari hujan, misalnya diberi tutup plastik atau terpal.
e. Ketersediaan oksigen:
− Pada proses aerob selalu dibutuhkan adanya oksigen. Pada proses konvensional, suplai oksigen dilakukan dengan pembalikan tumpukan sampah. Pembalikan menyebabkan distribusi sampah dan mikroorganisme akan lebih merata. Secara praktis, pembalikan biasanya dilakukan setiap 5 hari sekali.
− Pada pengomposan tradisional, tersedianya oksigen akan dipengaruhi tinggi tumpukan. Tinggitumpukan sebaiknya 1,25 - 2 m.
− Pada proses mekanis, suplai oksigen dilakukan secara mekanis, biasanya dengan menarik udara yang berada dalam kompos, sehingga udara dari luar yang kaya oksigen menggantikan udara yang ditarik keluar yang kaya CO2. Untuk hasil yang optimum, diperlukan udara yang mengandung lebih dari 50% oksigen.
f. Kandungan karbon dan nitrogen:
− Karbon (C ) adalah komponen utama penyusun bahan organik sebagai sumber enersi, terdapat dalam bahan organik yang akan dikomposkan seperti jerami, batang tebu, sampah kota, daundaunan dsb.
− Nitrogen (N) adalah komponen utama yang berasal dari protein, misalnya dalam kotoran hewan, dan dibutuhkan dalam pembentukan sel bakteri.
− Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk pembentukan sel bakteri. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan beratnkering), sedang C/N di akhir proses adalah 12 – 15. Pada rasio yang lebih rendah, ammonia akan dihasilkan dan aktivitas biologi akan terhambat, sedang pada ratio yang lebih tinggi, nitrogen akan menjadi variabel pembatas.
− Harga C/N tanah adalah 10 – 12, sehingga bahan-bahan yang mempunyai harga C/N mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan.
− Waktu pengomposan dapat direduksi dengan proses pencampuran dengan bagian yang sudah terdekomposisi sampai (1-2)% menurut berat. Buangan lumpur dapat juga ditambahkan dalam penyiapan sampah. Jika lumpur ditambahkan, kadar air akhir merupakan variabel pengontrol.
g. Kondisi asam basa (pH):
− pH memegang peranan penting dalam pengomposan. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5, kemudian pH akan naik dan stabil pada pH 7 - 8 sampai kompos matang.
− Bila pH terlalu rendah, perlu penambahan kapur atau abu. Untuk meminimalkan kehilangan nitrogen dalam bentuk gas ammonia, pH tidak boleh melebihi 8,5.
h. Temperatur:
− Suhu terbaik adalah 50º-55ºC, dan akan mencapai (55-60)ºC pada periode aktif. Suhu rendah, menyebabkan pengomposan akan lama. Suhu tinggi (60-70)ºC menyebabkan pecahnya telur insek, dan matinya bakteri-bakteri patogen yang biasanya hidup pada temperatur mesofilik.
− Pada pengomposan tradisional, bila tumpukan terlalu tinggi, terjadi pemadatan bahan-bahan dan akan terjadi efek selimut. Hal ini akan menaikkan temperatur menjadi sangat tinggi, dan oksigen menjadi berkurang
i. Tingkat dekomposisi: dapat diperkirakan melalui pengukuran penurunan suhu akhir, tingkatkapasitas panas, jumlah materi yang dapat didekomposisi. Kenaikan potensial redoks, kebutuhan oksigen, pertumbuhan jamur, dsb dapat digunakan juga sebagai indikator tingkat dekomposisi.
Beberapa jenis reaktor pengomposan modern adalah [54]:
− Vertikal (menara): diperkenalkan pada tahun 1939 di Amerika, dikenal dengan metoda Earp-Thomas. Sampah dimasukkan dari bagian atar reaktor. Fermentasi terjadi selama transport material dari bagian atas sampai ke dasar reaktor yang terdiri dari beberapa tahap. Metode sejenis adalah jenis Triga, dimana materi sampah dimasukkan dari atas, dan sampah turun ke bawah karena adanya putaran pada reaktor.
− Horisontal: cara yang paling dikenal adalah metoda Dano. Metoda ini berasal dari Denmark (1933). Fermentasi dilakukan dalam reaktor bertipe rotary kiln. Sampah diputar secara perlahan dalam kiln. Dengan pemutaran ini, materi asing yang tidak bisa dikomposkan akan terpisahkan di ujung akhir kiln.
− Metode Siloda adalah menggunakan alat yang secara sistematis dan berkala memindahkan kompos ke sisi lain, sehingga terjadi pengadukan secara sempurna
Limbah b3
              Pengolahan Limbah Bahan dan Beracun (B3) adalah proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun
              Persyaratan pengolahan limbah B3 meliputi persyaratan :
Lokasi pengolahan limbah B3; Fasilitas pengolahan limbah B3; Penanganan limbah B3 sebelum diolah; Pengolahan limbah B3; Hasil pengolahan limbah B3
              Persyaratan teknis pengolahan limbah B3 meliputi; Fisika dan kimia .Stabilisasi/solidifikasi .Insinerasi.
Persyaratan Lokasi Pengolahan Limbah B3
              Merupakan daerah bebas banjir;
              Pada jarak paling dekat 150 meter dari jalan utama/jalan tol dan 50 meter untuk jalan lainnya;
              Pada jarak paling dekat 300 meter dari daerah pemukiman, perdagangan, rumah sakit, pelayanan kesehatan atau kegiatan sosial, hotel, restoran, fasilitas keagamaan dan pendidikan;
              Pada jarak paling dekat 300 meter dari garis pasang naik laut, sungai, daerah pasang surut, kolam, danau, rawa, mata air dan sumur penduduk;
              Pada jarak paling dekat 300 meter dari daerah yang dilindungi (cagar alam, hutan lindung dan lain-lainnya).
              Pengolahan Limbah B3 Secara Fisika dan Kimia
Þ    Proses pengolahan secara kimia antara lain; Solidifikasi/Stabilisasi, Pirolisa
Þ    Proses pengolahan secara fisika antara lain Thickening,Flotasi
              Proses stabilisasi/solidifikasi adalah suatu tahapan proses pengolahan limbah B3 untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui upaya memperkecil/membatasi daya larut, pergerakan/penyebaran dan daya racunya (immobilisasi unsur yang bersifat racun) sebelum limbah B3 tersebut dibuang ke tempat penimbunan akhir (landfill)
              Prinsip kerja stabilisasi/solidifikasi adalah pengubahan watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat (aditif) sehingga pergerakan senyawa-senyawa B3 dapat dihambat atau terbatasi dan membentuk ikatan massa monolit  dengan struktur yang kekar (massive).
              Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi (bahan aditif) antara lain:
1). Bahan pecampur: gipsum,pasir, lempung,abu terbang , dan
2). Bahan perekat/pengikat: semen,kapur,tanah liat dll.
              Tata cara kerja stabilisasi/solidifikasi:
             Limbah B3 sebelum distabilisasi/solidifikasi harus dianalisa karakteristiknya guna menentukan resep stabilisasi/solidifikasi yang diperlukan terhadap limbah B3 tersebut;
              Setelah dilakukan stabilisasi/solidifikasi,selanjutnya terhadap hasil olahan tersebut dilakukan uji TCLP untuk mengukur kadar/konsentrasi parameter dalam lindi (extract/eluate) sebagaimana yang tercantum dalam tabel satu keputusan ini. Hasil uji TCLP sebagai mana dimaksud , kadarnya tidak boleh melewati ambang batas sebagaimana ditetapkan dalam tabel satu.
              Terhadap hasil olahan tersebut selanjutnya dilakukan uji kuat tekan (compressive strength) dengan “Soil penetrometer test “ dengan harus mempunyai tekanan nilai minimum sebesar 10 ton/m2  dan lolos uji “ paint filter test,”
                             Limbah B3 olahan yang memenuhi persyaratan kadar TCLP, nilai uji kuat tekan dan lolos paint filter test; selanjutnya harus ditimbun ditempat penimbunan (landfill) yang ditetapkan pemerintah atau yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
IPLT
              Instalasi pengolahan lumpur tinja, yang selanjutnya disebut IPLT adalah instalasi pengolahan air limbah yang didesain hanya menerima Lumpur tinja melalui mobil atau gerobak tinja (tanpa perpipaan);
              Lumpur tinja adalah seluruh isi tangki septic, cubluk tunggal atau endapan Lumpur dari underflow unit pengolah air limbah lainnya yang pembersihannya dilakukan dengan mobil;
              Sistem yang dapat digunakan dapat dilihat pada gambar 1 dengan aplikasi seperti berikut:
(1) alternatif pilihan I digunakan untuk pelayanan maksimal 50.000 orang, kondisi tanah cukup kedap dan jarak IPLT ke permukaan terdekat minimal 500 m;
(2) alternatif pilihan II digunakan untuk pelayanan maksimal 100.000 orang, kondisi tanah cukup kedap dan jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m;
(3) alternatif pilihan III digunakan untuk pelayanan maksimal 100.000 orang, kondisi tanah cukup kedap dan jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 250 m.
Data yang diperlukan untuk keperluan perencanaan meliputi;
(1) Peta wilayah yang dilengkapi topografi;
(2) Data sosial ekonomi;
(3) Geologi, hidrologi dan hidrogeologi, seperti:
a. Jenis tanah (pasir, lempung, lanau) dan angka permeabilitas tanah di lokasi IPLT;
b. Suangi atau badan air yang dipakai sebagai pembuangan akhir efluen sistem pengolahan. Letak dalam peta, debit dan kualitas (minimal dan maksimal);
c. Jarak kegiatan lain ke IPLT dan pemanfaatannya dikaitkan dengan pengaliran air tanah;
d. Elevasi air tanah dan arah pengalirannya;
e. Air tanah yang digunakan penduduk di sekitar IPLT.
(4) Data kondisi sanitari yang ada, seperti:
a. Tingkat pelayanan;
b. Jumlah, macam dan kualitas fasilitas sanitasi.
  Kriteria kuantitas dan kualitas lumpur tinja yang akan diolah:
(1) Laju/kapasitas lumpur tinja (cairan dan endapan) = 0,5 l/org.hari
(2) KOB = 5.000 mg/l
(3) TS = 40.000 mg/l
(4) TVS = 25.000 mg/l
(5) TSS = 15.000 mg/l
Kebutuhan unit bangunan atau pelengkap lainnya terdiri dari:
(1) Platform (dumping station):
            a. Dibuat khusus pada kolam stabilisasi anaerobik yang tidak didahului oleh tangki imhoff;
            b. Sebagai bagian dari sumur pompa, pada tangki imhoff yang tidak dilengkapi ram (tanjakan truk tinja);
            c. Sebagai bagian dari inlet tangki imhoff yang dilengkapi ram.
(2) Bak pengering lumpur;
(3) Kantor, gudang dan lab;
(4) Jalan masuk dan jalan operasi;
(5) Sumur monitoring kualitas air tanah;
(6) Fasilitas air bersih;
(7) Alat pemeliharaan dan keamanan.
Kriteria perencanaan tangki imhoff
(1) Jumlah kompartemen dalam satu tangki, maksimum 2 unit;
(2) Kedalaman tangki total, sekitar (6-9) m, dengan rincian sebagai berikut:
            a. Zona sedimentasi = (1,5-2) m;
            b. Zona netral ≥ 0,54 m;
            c. Zona lumpur harus dikalkulasi, dan ditambahkan pada zona-zona sedimentasi dan netral.
(3) Zona sedimentasi:
            a. Tinggi jagaan = (0,20-0,30) m;
            b. Panjang = (7-30) m;
            c. Rasio panjang dan lebar = (2-4) : 1;
            d. Kemiringan dasar tangki = (50-60)° atau ≥ 1,2 (V) : 1 (H);
            e. Lebar slot = (15-20) cm;
            f. Overhang = (20-25) cm;
            g. Kecepatan aliran horizontal < 1 cm/det;
            h. Beban permukaan ≤ 30 m3/(m2.hari)
            i. Waktu detensi ≥ 1,5 jam;
            j. Efisiensi pemisahan TSS = (40-60) %.
(4) Zona lumpur:
            a. Dapat dibuat menjadi beberapa unit ke arah memanjang tangki yang dilengkapi penampung lumpur dan pipa pengambilan lumpur;
            b. Penampung lumpur hanya dipisahkan oleh sekat beton yang berfungsi juga sebagai penyangga bak pengendap; dan di sebelah bawah sekat diberi sebuah lubang penghubung;
            c. Kemiringan penampung lumpur, minimal 30° atau ≥ 1 (V) : 1,7 (H);
            d. Laju endapan lumpur = 0,06 l/orang/hari;
            e. Waktu detensi = (1-2) bulan;
(5) Ventilasi gas:
            a. Luas permukaan total ventilasi gas (25-30) % terdapat luas permukaan bak pencerna;
            b. Lebar ventilasi gas pada satu sisi (45-60) cm, dan/atau luas permukaan total ventilasi gas ≥ 20% dari luas total permukaan tangki imhoff.
(6) Pipa lumpur:
            a. Diameter minimal 15 cm;
            b. Kemiringan pipa pembuangan dan penyalur lumpur (underflow), minimal 12%;
            c. Jarak vertikal antara outlet pembuangan lumpur dan level permukaan air, minimal 1,8 m;
            d. Pipa lumpur vertikal diperluas ke atas permukaan air ± 30 cm dalam keadaan terbuka, dan di sebelah ujungnya (di dasar tangki) diberi blok beton).
--Kriteria perencanaan kolam stabilisasi anaerobik
(1) Kedalaman air = (1,8-2,5) m;
(2) Jagaan = (0,3-0,5) m;
(3) Beban BOD volumetrik = (500-800) g BOD/(m3.hari)
(4) Rasio panjang dan lebar = (2-4) : 1;
(5) Efisiensi pemisahan BOD ≥ 60%.
Kriteria perencanaan inlet dan outlet kolam:
(1) Panjang pipa inlet kolam stabilisasi dipasang hingga 1/3 panjang kolam atau maksimal 15 m;
(2) Konstruksi interkoneksi antar kolam dimudahkan untuk pengambilan sampel air limbah.
---Kriteria perencanaan kolam stabilisasi fakultatif
(1) Kedalaman air = (1,2-1,8) m;
(2) Tinggi jagaan = (0,3-0,5) m;
(3) Beban BOD volumetrik = (40-60) g BOD/m3.hari);
(4) Rasio panjang dan lebar = (2-4) : 1;
(5) Efisiensi pemisahan BOD ≥ 70%;
(6) BOD influen ≤ 400 mg/l;
(7) BOD efluen > 50 mg/l.
---Kriteria perencanaan kolam maturasi
(1) Kedalaman air = (0,8-1,2) m;
(2) Tinggi jagaan = (0,3-0,5) m;
(3) Beban BOD volumetrik = (40-60) g BOD/(m3.hari);
(4) Rasio panjang dan lebar = (2-4) : 1;
(5) Efisiensi pemisahan BOD ≥ 70%;
(6) Efisiensi pemisahan E. Coli ≥ 95% (termasuk kolam-kolam sebelumnya).
--Kriteria perencanaan kolam aerasi
(1) Kedalaman air = (1,8-2,50) m;
(2) Jagaan = (0,3-0,5) m;
(3) Beban BOD volumetrik = (100-400) g BOD/(m3.hari);
(4) Rasio panjang dan lebar = (2-4) : 1;
(5) Efisiensi pemisahan BOD ≥ 70%;
(6) Tenaga pengadukan:
            a. > 6 W/m3 untuk kolam aerasi aerobik;
            b. (2-3) W/m3 untuk kolam aerasi fakultatif
(1) Lebar sebuah bak = (4,50-7,50) m;
(2) Panjang sebuah bak = (3-6) x lebar;
(3) Ketinggian dinding bak = 45 cm di atas pasir;
(4) Tinggi jagaan = (15-25) cm;
(5) Dinding bak bisa dibuat dari beton, pasangan bata dengan spesi semen;
(6) Pipa pemberi yang membawa sludge ke tepi bak berdiameter ≥ 150 mm dan dari bahan GI;
(7) Pipa distributor mempunyai kriteria sebagai berikut:
            a. Dipasang di atas (di salah satu sisi) dinding memanjang tiap kompartemen;
            b. Diameter ≥ 150 mm;
            c. Bahan GI;
            d. Bila menggunakan bahan pipa dari PVC harus ditanam dalam dinding;
(8) Pipa pembuang dipasang pada drainase bak dengan diameter minimal 15 cm;
(9) Kadar air lumpur kering optimal = (70-80) %;
(10) Tebal lumpur kering di atas pasir = (20-30) cm;
(11) Tebal lumpur basah di atas pasir = (30-45) cm;
(12) Media pasir yang dipasang pada lapisan teratas mempunyai kriteria seperti berikut:
            a. Ukuran efektif = (0,30-0,50) mm;
            b. Koefisien keseragaman ≤ 5;
            c. Tebal pasir = (15,0-22,5) cm;
            d. Kandungan kotoran ≤ 1 % terhadap volume pasir.
(13) Media kerikil yang dipasang dalam dua lapis di bawah asir dengan urutan dari atas sebagai berikut:
            a. Diameter (3-6) mm dipasang 15 cm di atas dasar bak;
            b. Diameter (20-40) mm dipasang setebal 15 cm di atas pipa penangkap di kanan-kiri pipa penangkap setebal diameternya (10-15) cm.
(14) Pipa peluap dengan diameter (100-150) mm dipasang pada dinding bak.
---Kriteria perencanaan bak pengering lumpur
(1) Lebar salah satu sisi tanggul minimal 2,5 m sebagai jalan operasi;
(2) Kemiringan dinding tanggul bagian dalam 1 (V) : 2,5 (H) dan bagian luar 1 (V) : 1,5 (H);
(3) Kepadatan konstruksi tanggul mempunyai densitas kering maksimal sebesar 90% yang ditentukan dengan tes modifikasi proktor. Shrinkage tanah yang terjadi pada saat pemadatan harus sekitar (10-30)%. Koefisien permeabilitas tanggul padat tidak boleh lebih dari 10-7 m/detik.
(4) Persyaratan permeabilitas tanah untuk penyediaan lining:
            a. k ≥ 10-6 m/detik, seluruh kolam perlu dilining;
            b. k = (10-7-10-6) m/detik. Kolam primer dan sekunder perlu dilining;
            c. k ≤ 10-8 m/detik, kolam tidak perlu diberi lining.
Profil hidrolis
(1) Beda elevasi muka air antar kolam (5-10) cm;
(2) Elevasi dasar pengering lumpur harus lebih tinggi daripada muka air kolam stabilisasi anaerobik I atau kolam aerasi aerobik;
(3) Elevasi muka air tangki imhoff harus lebih tinggi minimal 1,8 m di atas pipa inlet pengering lumpur;
(4) Elevasi muka air sumur pompa harus lebih tinggi daripada muka air di kolam stabilisasi anaerobik I atau kolam aerasi aerobik;
(5) Elevasi muka air maksimal badan air penerima 0,50 m di bawah outlet kolam maturasi atau lebih dalam.
--Perencanaan Profil Hidrolis
Penerapan profil hidrolis tersebut harus disesuaikan dengan:
(1) Elevasi muka tanah asli hingga diperoleh pekerjaan gali urug yang murah;
(2) Elevasi maksimal badan-badan air penerima
==== insinerasi
§     Insinerasi adalah metode pengolahan sampah dengan cara membakar sampah pada suatu tungku pembakaran.
§     Teknologi insinerasi merupakan teknologi yang mengkonversi materi padat menjadi materi gas (gas buang), serta materi padatan yang sulit terbakar, yaitu abu (bottom ash) dan debu (fly ash).
§     Panas yang dihasilkan dari proses insinerasi juga dapat dimanfaatkan untuk mengkonversi suatu materi menjadi materi lain dan energi, misalnya untuk pembangkitan listrik dan air panas.
§     Di beberapa negara maju, teknologi insinerasi sudah diterapkan dengan kapasitas besar (skala kota).
§     Teknologi insinerator skala besar terus berkembang, khususnya dengan banyaknya penolakan akan teknologi ini yang dianggap bermasalah dalam sudut pencemaran udara.
§     Salah satu kelebihan yang dikembangkan terus dalam teknologi terbaru dari insinerator ini adalah pemanfaatan enersi, sehingga nama insinerator cenderung berubah seperti waste-to-energy, thermal converter
§     Insinerasi merupakan proses pengolahan buangan dengan cara pembakaran pada temperatur yang sangat tinggi (>800ºC) untuk mereduksi sampah yang tergolong mudah terbakar (combustible), yang sudah tidak dapat didaurulang lagi
§     Sasaran insinerasi adalah untuk mereduksi massa dan volume buangan, membunuh bakteri dan virus dan meredukdi materi kimia toksik, serta memudahkan penanganan limbah selanjutnya. Insinerasi dapat mengurangi volume buangan padat domestik sampai 85-95 % dan pengurangan berat sampai 70-80%.
§     Teknologi insinerasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu:
§     a. Mengurangi massa / volume: proses insinerasi adalah proses oksidasi (dengan oksigen atau udara) limbah combustible pada temperatur tinggi. Akan dikeluarkan abu, gas, limbah sisa pembakaran dan abu, dan diperoleh pula enersi panas. Bila pembakaran sempurna, akan tambah sedikit limbah tersisa dan gas yang belum sempurna terbakar (seperti CO). Panas yang tersedia dari pembakaran limbah sebelumnya akan berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar yang dipasok. Insinerator yang bekerja terus menerus akan menghemat bahan bakar.
§     b. Mendestruksi komponen berbahaya: insinerator tidak hanya untuk membakar sampah kota. Sudah diterapkan untuk limbah non-domestik, seperti dari industri (termasuk limbah B3), dari kegiatan medis (untuk limbah infectious). Insinerator tidak hanya untuk membakar limbah padat. Sudah digunakan untuk limbah non-padat, seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi. Teknologi  ini merupakan sarana standar untuk menangani limbah medis dari rumah sakit. Sasaran utamanya adalah mendestruksi patogen yang berbahaya seperti kuman penyakit menular. Syarat utamanya adalah panas yang tinggi (dioperasikan di atas 800o C). Dalam hal ini limbah tidak harus combustible, sehingga dibutuhkan subsidi bahan bakar dari luar
§     c. Insinerasi adalah identik dengan combustion, yaitu dapat menghasilkan enersi yang dapat dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah kuantitas dan kontinuitas limbah yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup untuk menghasilkan enersi secara kontinu agar suplai enersi tidak terputus.
§     Teknologi ini mampu melakukan reduksi volume sampah namun teknologi insinerasi membutuhkan biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan yang cukup tinggi.
§     Fasilitas pembakaran ini dianjurkan hanya digunakan untuk memusnahkan/membakar sampah yang tidak bisa didaur ulang, ataupun tidak layak untuk diurug.
§     Alat ini harus dilengkapi dengan sistem pengendalian dan kontrol untuk memenuhi batas-batas emisi partikel dan gas-buang sehingga dipastikan asap yang keluar dari tempat pembakaran sampah merupakan asap/gas yang sudah netral.
§     Abu yang dihasilkan dari proses pembakaran bisa digunakan untuk bahan bangunan, dibuat bahan campuran kompos, atau dibuang ke landfill.
§     Proses insinerasi berlangsung melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:
§           Mula-mula membuat air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering yang akan siap terbakar.
§          Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur belum terlalu tinggi
§          Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna.
§     Agar terjadi proses yang optimal maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam menjalankan suatu insinerator, antara lain:
§          Aspek keterbakaran: menyangkut nilai kalor, kadar air, dan kadar abu dari buangan padat, khususnya sampah.
§          Aspek keamanan: menyangkut titik nyala, tekanan uap, deteksi logam berat, dan operasional insinerator.
§          Aspek pencegahan pencemaran udara : menyangkut penanganan debu terbang, gas toksik, dan uap metalik.
§     Terdapat 3 parameter utama dalam operasi insinerator yang harus diperhatikan, yaitu 3-T (Temperature, Time dan Turbulence):
§           Temperature (Suhu): Berkaitan dengan pasokan oksigen (melalui udara). Udara yang dipasok akan menaikkan temperature karena proses oksidasi materi organik bersifat eksotermis. Temperatur ideal untuk sampah kota tidak kurang dari 800 oC.
§          Time (waktu): Berkaitan dengan lamanya fasa gas yang harus terpapar dengan panas yang telah ditentukan. Biasanya sekitar 2 detik pada fase gas, sehingga terjadi pembakaran sempurna.
§          Turbulensi: Limbah harus kontak sempurna dengan oksigen. Insinerator besar diatur dengan kisi-kisi atau tungku yang dapat bergerak, sedang insinerator kecil (modular) tungkunya adalah statis.
§     Skema insinerator kapasitas besar untuk sampah kota umumnya terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut:
§          Unit Penerima: perlu untuk menjaga kontinuitas suplai sampah.
§          Sistem Feeding/Penyuplai: agar instalasi terus bekerja secara kontinu tanpa tenaga manusia.
§          Tungku pembakar: harus bisa mendorong dan membalik sampah.
§          Suplai udara: agar tetap memasok udara sehingga sistem dapat terbakar. Pasokan udara daribawah adalah suplai utama. Udara sekunder perlu untuk membakar bagian-bagian gas yang tidak sempurna.
§           Kebutuhan udara: tergantung dari jenis limbah
§          Pembubuhan air: mendinginkan residu/abu dan gas yang akan keluar stack agar tidak mencemari lingkungan.
§          Unit pemisah: memisahkan abu dari bahan padat yang lain.
§          APC (Air Pollution Control): terdapat beragam pencemaran yang akan muncul, khususnya: Debu atau partikulat, Air asam, Gas yang belum sempurna terbakar: CO, Gas-gas hasil pembakaran seperti CO2, NOx , SOx, Dioxin, Panas. Setiap jenis pencemar, membutuhkan APC yang sesuai pula, sehingga bila seluruh jenis pencemar ini ingin dihilangkan, maka akan dibutuhkan serangkaian unit-unit APC yang sesuai. Pada insinerator modular yang sering digunakan di kota-kota di Indonesia, dapat dikatakan sarana ini belum dilengkapi unit APC, paling tidak untuk mengurangi partikel-partikel debu yang keluar.
§          Cerobong (stack): semakin tinggi akan semakin baik, terutama untuk daerah sekitarnya, tetapi tidakberarti tidak mengotori udara. Dengan cerobong yang tinggi maka terjadi pendinginan-pengenceran.
§          Dinding insinerator harus tahan panas, dan tidak menyalurkan panas keluar.
§     Nilai kalor sampah Indonesia mencapai 1.000 – 2.000 kkal/kg-kering.
§     Proses insinerasi ekonomis bila sampah memiliki nilai kalor paling tidak 2.000 kkal/kg-kering, sehingga tidak dibutuhkan enersi tambahan dari luar.
§     Kebutuhan oksigen dan nilai kalor yang dikandungnya dapat dihitung berdasarkan metode pendekatan kadar unsur sampah, misalnya dengan rumus kimia sampah Indonesia dengan dominasi rata–rata kandungan sampah organik sekitar 60%, sampah plastik 17%, dan sampah kertas 16% adalah C351,42H2.368,63O1.099,65N13,603S.
Insinerator dapat dibagi berdasarkan perbedaan:
a. Cara pengoperasian: batch atau kontinu
b. Tungku yang digunakan:
            − Statis (insinerator modular atau kecil, seperti insinerator RS)
            Mechanical stoker : biasanya untuk sampah kota
            Fluiduized bed : biasanya untuk limbah homogen
            Rotary kiln : untuk limbah industri (limbah padat atau cair)
            Multiple hearth : untuk limbah industri
c. Cara penyuplaian limbah: dikaitkan dengan fasa limbah (padat, gas, sludge, slurry)
Masing-masing jenis kemudian berkembang lagi, misalnya dalam insenarator modular dikenal insinerator kamar-jamak, yang kemudian dibagi lagi menjadi:
  • Multi chambre
  • Multi chambre – starved control-air
Insinerator Modular
Di Indonesia, penggunaan insinerator skala kota baru dilaksanakan di Surabaya. Namun karena permasalahan teknis yang sejak awal telah terjadi, insinerator ini cendererung kurang berfungsi.
Insinerator skala modular (skala kecil), banyak dicoba di beberapa kota di Indonesia, walaupun ternyata mengalami beberapa permasalahan, seperti mahalnya biaya operasi, timbulnya permasalahan lingkungan yang terlihat nyata secara visual seperti asap dan bau.
Beberapa informasi di bawah ini menjelaskan secara ringkas tentang insinerator jenis modular dengan:
a. Pemasokan limbah dapat dilakukan:
  − Secara manual: khususnya untuk insinerator kecil
  − Secara mekanis/hidrolis: memperpanjang waktu operasi
  − Bila pemasokan limbah dilakukan secara kontinu tanpa mematikan dan mendinginkan ruang pembakaran, akan dihemat bahan bakar dan kontinuitas operasi dapat dijamin.
b. Pengoperasian:
  − Pengoperasian secara batch dengan pemasokan manual
  − Pengoperasian secara batch dengan pemasokan semi kontinu
  − Pengoperasian secara kontinu: untuk skala di atas 40 ton/hari.
  − Pengeluarkan abu: bila abu dapat dikeluarkan secara terus menerus, ruang pembakaran akan tetap tersedia untuk limbah yang baru. Pengeluaran abu dapat dilakukan:scra manual, mkanis
c. Insinerator yang paling sederhana adalah 1 kamar. Selanjutnya dikenal insinerator kamar-jamak dengan sasaran:
  − Menghemat bahan bakar
  − Menghemat enersi untuk suplai udara
  − Mempertahan temperatur
  − Kontrol pencemaran udara
d. Kapasitas nominal tungku pembakaran: dinyatakan sebagai Kg/jam, Ton/hari atau m3/jam untuk 8 jam kerja per shift. Kapasitas pembakaran biasanya digunakan tidak lebih dari 75%.
e. Pasokan oksigen dilakukan dengan memasukkan udara secara:
  − Manual: untuk insinerator sederhana
  − Blower: memasok udara dengan debit tetap atau debit yang disesuaikan dengan kebutuhan.
f. Limbah yang baru dimasukkan (dingin) membutuhkan pasokan api melalui burner (pembakar bahan bakar). Bila limbahnya combustible maka limbah selanjutnya berfungsi sebagai bahan bakar. Jumlah burner, konsumsi dan jenis bahan bakar, perlu diperhatikan dalam memilih incinerator. Tambah besar kapasitas insinerator, tambah sedikit bahan bakar yang dibutuhkan per satuan limbah yang akan dibakar.
g. Dinding Isolasi panas berfungsi untuk menghemat bahan bakar dan mempertahankan temperatur. Dinding insinerator yang baik biasanya berlapis-lapis, yang terdiri dari:
ú     Lapis luar: baja tahan karat dengan ketebalan tertentu (mis 6 mm), dicat dengan cat tahan temperatur tinggi
ú     Lapis tengah: isolator panas dengan ketebalan tertentu, dengan baha seperti asbes, atau kalsium silikat dsb
ú     Lapis dalam: langsung kontak dengan temperatur tinggi, misalnya dari bahan bata tahan api
h. Tinggi dan bahan cerobong: tambah tinggi cerobong, udara panas yang keluar akan tambah terencerkan dan tersebar secara baik di lingkungan.
i. Panel pengontrol dan petunjuk: digunakan untuk mengetahui debit udara, temperatur, alat untuk mengontrol waktu operasi (timer), dsb.
j. Bangunan pelindung: untuk melindungi dari hujan dsb
k. Perlengkapan pengendali pencemaran udara: biasanya dijual terpisah dari insinerator. Dikenal beberapa pengontrol, seperti: pengontrol partikulat (bag house, scruber, dsb), pengontrol uap asam (scruber basa, dsb), pengontrol gas-gas spesifik, dsb.
Recovery Panas dan Permasalahan Lingkungan
§     Enersi panas yang dapat dikonversi menjadi listrik dan recovery panas merupakan salah satu keunggulan yang ditawarkan dari insinerator jenis baru.
§     Enersi tersebut berasal dari panas dalam tungku, yang biasanya didinginkan dengan air, dan uap air yang terjadi dapat digunakan sebagai penggerak  turbin pembangkit listrik.
§      Namun perlu pemahaman bahwa:
ú     Produk panas yang nanti dikonversi menjadi listrik, akan tergantung dari nilai kalor sampah itu sendiri. Nilai kalor sampah Indonesia biasanya sulit mencapai angka 1200 Kcal/kg-kering, bandingkan dengan sampah dimana teknologi insinerator itu berasal, yaitu paling tidak 2000-2500 kkal/kg-kering. Komponen sampah yang dikenal mempunyai nilai kalor tinggi adalah kertas dan plastik. Dilemna yang muncul adalah, bila yang dikejar adalah nilai kalor tinggi, maka upaya daurulang tidak mendukung teknologi ini.

ú     Sampah Indonesia mengandung banyak sisa makanan (bisa mencapai 70%) yang dikenal mempunyai kadar air tinggi. Ditambah musim hujan, serta sistem pewadahan sampah yang tidak  tertutup, akan menambah tingginya kadar air. Secara logika, tambah tinggi kadar air, maka akan tambah banyak enersi yang dibutuhkan untuk memulai sampah itu terbakar.
ú     Proses termal menawarkan destruksi massa limbah secara cepat. Namun semua proses termal tetap akan menghasilkan residu ( bagian non-combustible) yang tidak bisa terbakar pada temperatur operasi. Tambah tinggi panas, maka residu-nya akan tambah sedikit. Residu ini berada dalam bentuk abu, debu dan residu lain. Abu biasanya dikenal mempunyai potensi sebagai bahan bangunan, karena mengandung silikat tinggi. Sampah Indonesia mengandung abu sampai mencapai 30% berat. Debu atau partikulat akan merupakan salah satu permasalahan pencemaran udara yang perlu diperhatikan. Biasanya jalan terakhir yang dilakukan adalah diurug
ú     Dalam proses termal, beberapa logam berat yang berada dalam sampah, akan teruapkan seperti Zn dan Hg, yang tergantung dari titik uapnya. Merkuri (Hg) pada temperatur kamarpun akan menguap. Tambah tinggi temperatur, akan tambah banyak jenis logam berat yang akan menguap. Agak sulit menangani jenis pencemar ini.
ú     Dioxin akan muncul sebagai proses antara dalam pembakaran material, bukan hanya pada insinerator. Tambah tinggi temperatur, maka biasanya tambah sedikit bahan antara ini. Bila terjadi kegagalan dalam mempertahankan panas, atau pada awal operasi atau di akhir operasi, dimanatemperatur berada pada level yang rendah, maka masalah ini dapat muncul.
ú     Apapun teknologinya, maka dalam proses oskidasi (pembakaran) akan dihasilkan produk oksidasi, yang diantaranya berupa gas-buang. Bila sistem tidak tercampur sempurna dan pembakaran menjadi tidak sempurna, maka akan dihasilkan gas-gas yang belum terbakar sempurna.
ú     Bila material berbasis khlor terbakar, maka akan dihasilkan produk gas khlor, yang sangat berbahaya karena korosif maupun karena toksik. Namun dengan adanya uap air, gas yang sangat reaktif ini dengan mudah menangkap uap air menjadi HCl. Ini juga perlu diklarifikasi dalam teknologi yang ditawarkan dalam air pollution control, guna mengurangi terjadinya hujan asam.
ú     Bila pemanasan dilakukan tanpa oksigen, maka proses ini dikenal sebagai pirolisis. Modivikasi daripirolisis adalah gasifikasi yang memasukkan sedikit udara dalam proses. Akan dihasilkan 3 jenis produk, yaitu (a) gas hasil oksidasi tanpa oksigen seperti CH4 dan H2 (b) C2H4 (ethyelene) dan tar dan (c) arang atau karbon. Seperti halnya insinerasi, maka karena yang digunakan sebagai bahan adalah sampah yang sangat heterogen, maka akan dihasilkan by-product lain seperti gas pencemar, dioxin, residu yang belum dapat terurai. Proporsi produk yang dihasilkan (gas, cair atau padat) tergantung dari temperatur dan waktu pembakaran.
ú     Terdapat serangkaian upaya konversi enersi dalam sistem insinerator penghasil panas, mulai dari combustor – boiler – steam generator sampai ke electric generator, yang tidak akan mampu mengkonversi enersi secara mulus 100%. Bila sampah yang digunakan adalah sejenis sampah di negara industri, maka enersi listrik sebesar 20 MW/1000 ton-kering sampah dapat dicapai. Dengan kondisi sampah Indonesia yang mempunyai nilai kalor hanya sekitar 1000 kkal/kg-kering, apalagi bila kertas dan plastiknya dikeluarkan untuk didaur-ulang, serta kadar air yang cukup tinggi, maka sebetulnya berdasarkan perhitungan yang konvensional akan diperoleh paling sekitar 4 MW per kg sampah-basah

ú     Wte inggris
ú  Sebagian lagi dikirimkan ke sebuah tempat bernama incinerator atau tempat pembakaran sampah untuk dimusnahkan dengan cara dibakar dengan menggunakan incinerator .
ú  Incinerator ini diperlukan untuk membantu mengurangi volume sampah yang terus menggunung di landfill. Karena proses pembusukan sampah juga memerlukan waktu cukup lama, kadang-kadang keterbatasan lahan landfill mengharuskan sebagian volume sampah harus dibakar.
ú  Incinerator dikelola sedemikian rupa agar panas dari pembakaran bisa dimanfaatkan dan didaur ulang untuk sumber energi atau pemanas, sedangkan gas buang dari cerobongnya diolah terlebih dahulu agar kandungan bahan-bahan berbahaya yang bisa mencemari udara bisa ditekan sekecil-kecilnya atau dihilangkan sama sekali. Hal ini juga sudah diatur dengan ketat oleh Uni Eropa dan semua negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa wajib mematuhinya.