Pengelolaan
sampah
} Teknik-teknik pemrosesan dan
pengolahan sampah:
− Pemilahan sampah, baik secara manual maupun secara
mekanis berdasarkan jenisnya
− Pemadatan sampah (baling)
− Pemotongan sampah
− Pengomposan sampah baik dengan cara konvensional maupun
dengan rekayasa
− Pemrosesan sampah sebagai sumber gas-bio
− Pembakaran dalam Insinerator, dengan pilihan
pemanfaatan enersi panas
} Pemanfaatan enersi sampah dapat dilakukan dengan
cara:
a. menangkap gasbio hasil proses degradasi secara
anaerobik pada sebuah reaktor (digestor)
b. menangkap gas bio yang terbentuk dari
sebuah landfill
c. menangkap panas yang keluar akibat pembakaran,
misalnya melalui insinerasi
} Proses pengomposan (composting)
adalah proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap bahan
organik yang biodegradable, atau dikenal pula sebagai biomas.
} Pengomposan dapat dipercepat dengan mengatur
faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga berada dalam kondisi yang optimum
untuk proses pengomposan.
} Secara umum, tujuan pengomposan
adalah:
a. Mengubah bahan organik yang biodegradable menjadi
bahan yang secara biologi bersifat stabil
b. Bila prosesnya pembuatannya secara aerob, maka proses
ini akan membunuh bakteri patogen, telur serangga, dan mikroorganisme lain yang
tidak tahan pada temperatur di atas temperatur normal
c. Menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk
memperbaiki sifat tanah
} Beberapa manfaat kompos dalam
memperbaiki sifat tanah adalah:
− Memperkaya bahan makanan untuk tanaman
− Memperbesar daya ikat tanah berpasir
− Memperbaiki struktur tanah berlempung
− Mempertinggi kemampuan menyimpan air
− Memperbaiki drainase dan porositas tanah
− Menjaga suhu tanah agar stabil
− Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara
− Dapat meningkatkan pengaruh pupuk buatan
} Kompos kurang tepat bila
disebut sebagai pupuk, walaupun dikenal pula sebagai pupuk organik, karena zat hara yang dikandungnya
akan tergantung pada karakteristik bahan baku yang digunakan.
} Klasifikasi pengomposan antara
lain dapat dikelompokkan atas dasar:
a. Ketersediaan oksigen:
− Aerob bila dalam prosesnya menggunakan oksigen (udara)
− Anaerob bila dalam prosesnya tidak memerlukan adanya
oksigen
b. Kondisi suhu:
− Suhu mesofilik: berlangsung pada suhu normal, biasanya
proses anaerob
− Suhu termofilik: berlangsung di atas 40oC, terjadi pada
kondisi aerob
c. Teknologi yang digunakan:
− Pengomposan tradisional (alamiah) misalnya dengan cara windrow
− Pengomposan dipercepat (high rate) yang bersasaran
mengkondisikan dengan rekayasa lingkungan proses yang mengoptimalkan kerja
mikroorganisme, seperti pengaturan pH, suplai udara, kelembaban, suhu, pencampuran, dsb.
} Pengomposan aerobik lebih
banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan lebih cepat,
temperatur proses pembuatannya tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen
dan telur cacing, sehingga kompos yang dihasilkan lebih higienis.
Biasanya proses pengomposan dilakukan secara aerob.
Secara umum, transformasi umum buangan aerob dapat
dijelaskan sebagai berikut :
- Input: Materi organik + O2 + nutrisi + bakteri
- Materi organik belum terdegradasi + biomass sel bakteri
+ CO2 + H2O + NH3 + ........ + panas
Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan,
antara lain:
a. Bahan yang dikomposkan: apakah mudah terurai atau
sulit terurai, misalnya makin banyak kandungan kayu atau bahan yang mengandung
lignin, maka akan makin sulit terurai
b. Mikroorganisme: mikroorganisme seperti bakteri, ragi,
jamur yang sesuai dengan bahan yang akan diuraikan akan dapat menguraikan bahan organik
c. Ukuran bahan yang dikomposkan : bila ukuran sampah
makin kecil, akan makin luas permukaan, sehingga makin baik kontak antara
bakteri dan materi organik, akibatnya akan makin cepat proses pembusukan. Namun
bila diameter terlalu kecil, kondisi bisa menjadi anaerob karena ruang untuk
udara mengecil. Diameter yang baik adalah antara (25-75) mm.
d. Kadar air :
− Timbunan kompos harus selalu lembab, biasanya sekitar
nilai 50-60%. Nilai optimum adalah = 55%, kurang lebih selembab karet busa yang
diperas.
− Adanya panas yang terbentuk, menyebabkan air menguap,
sehingga tumpukan menjadi kering.
− Bila terlalu basah, maka pori-pori timbunan akan terisi
air, dan oksigen berkurang sehingga proses menjadi anaerob. Biasanya pengadukan atau
pembalikan kompos pada proses konvensional akan mengembalikan kondisi dalam
timbunan menjadi normal kembali. Bulking agent, seperti zeolit, dedak atau
kompos matang, banyak digunakan untuk mempertahankan kadar air agar tidak
terlalu lembab.
− Timbunan akan berasap bila panas mulai timbul. Pada
saat itu bagian tengah tumpukan dapat menjadi kering, dan proses pembusukan
dapat terganggu.
− Untuk mengukur suhu secara mudah, tancapkan bambu ke
tengah tumpukan. Bila bambu basah dan hangat, serta tidak berbau busuk, maka
proses pengomposan berjalan dengan baik.
− Kadang-kadang diperlukan penambahan air ke dalam
timbunan setiap 4 – 5 hari sekali. Sebaliknya, untuk daerah yang mempunyai
curah hujan yang tinggi, maka timbunan kompos harus dilindungi dari hujan,
misalnya diberi tutup plastik atau terpal.
e. Ketersediaan oksigen:
− Pada proses aerob selalu dibutuhkan adanya oksigen.
Pada proses konvensional, suplai oksigen dilakukan dengan pembalikan tumpukan
sampah. Pembalikan menyebabkan distribusi sampah dan mikroorganisme akan lebih
merata. Secara praktis, pembalikan biasanya dilakukan setiap 5 hari sekali.
− Pada pengomposan tradisional, tersedianya oksigen akan
dipengaruhi tinggi tumpukan. Tinggitumpukan sebaiknya 1,25 - 2 m.
− Pada proses mekanis, suplai oksigen dilakukan secara
mekanis, biasanya dengan menarik udara yang berada dalam kompos, sehingga udara
dari luar yang kaya oksigen menggantikan udara yang ditarik keluar yang kaya
CO2. Untuk hasil yang optimum, diperlukan udara yang mengandung lebih dari 50% oksigen.
f. Kandungan karbon dan nitrogen:
− Karbon (C ) adalah komponen utama penyusun bahan
organik sebagai sumber enersi, terdapat dalam bahan organik yang akan
dikomposkan seperti jerami, batang tebu, sampah kota, daundaunan dsb.
− Nitrogen (N) adalah komponen utama yang berasal dari
protein, misalnya dalam kotoran hewan, dan dibutuhkan dalam pembentukan sel
bakteri.
− Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan
sebagai sumber energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya
digunakan untuk pembentukan sel bakteri. Perbandingan C dan N awal yang baik
dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan beratnkering), sedang C/N di
akhir proses adalah 12 – 15. Pada rasio yang lebih rendah, ammonia akan
dihasilkan dan aktivitas biologi akan terhambat, sedang pada ratio yang lebih
tinggi, nitrogen akan menjadi variabel pembatas.
− Harga C/N tanah adalah 10 – 12, sehingga bahan-bahan
yang mempunyai harga C/N mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan.
− Waktu pengomposan dapat direduksi dengan proses
pencampuran dengan bagian yang sudah terdekomposisi sampai (1-2)% menurut
berat. Buangan lumpur dapat juga ditambahkan dalam penyiapan sampah. Jika
lumpur ditambahkan, kadar air akhir merupakan variabel pengontrol.
g. Kondisi asam basa (pH):
− pH memegang peranan penting dalam pengomposan. Pada
awal pengomposan, pH akan turun sampai 5, kemudian pH akan naik dan stabil pada
pH 7 - 8 sampai kompos matang.
− Bila pH terlalu rendah, perlu penambahan kapur atau
abu. Untuk meminimalkan kehilangan nitrogen dalam bentuk gas ammonia, pH tidak
boleh melebihi 8,5.
h. Temperatur:
− Suhu terbaik adalah 50º-55ºC, dan akan mencapai
(55-60)ºC pada periode aktif. Suhu rendah, menyebabkan pengomposan akan lama.
Suhu tinggi (60-70)ºC menyebabkan pecahnya telur insek, dan matinya
bakteri-bakteri patogen yang biasanya hidup pada temperatur mesofilik.
− Pada pengomposan tradisional, bila tumpukan terlalu
tinggi, terjadi pemadatan bahan-bahan dan akan terjadi efek selimut. Hal ini akan menaikkan
temperatur menjadi sangat tinggi, dan oksigen menjadi berkurang
i. Tingkat dekomposisi: dapat diperkirakan melalui
pengukuran penurunan suhu akhir, tingkatkapasitas panas, jumlah materi yang
dapat didekomposisi. Kenaikan potensial redoks, kebutuhan oksigen, pertumbuhan
jamur, dsb dapat digunakan juga sebagai indikator tingkat dekomposisi.
Beberapa jenis reaktor pengomposan modern adalah [54]:
− Vertikal (menara): diperkenalkan pada tahun 1939 di
Amerika, dikenal dengan metoda Earp-Thomas. Sampah dimasukkan dari bagian atar
reaktor. Fermentasi terjadi selama transport material dari bagian atas sampai
ke dasar reaktor yang terdiri dari beberapa tahap. Metode sejenis adalah jenis
Triga, dimana materi sampah dimasukkan dari atas, dan sampah turun ke bawah karena adanya putaran pada
reaktor.
− Horisontal: cara yang paling dikenal adalah metoda
Dano. Metoda ini berasal dari Denmark (1933). Fermentasi dilakukan dalam
reaktor bertipe rotary kiln. Sampah diputar secara perlahan dalam kiln. Dengan
pemutaran ini, materi asing yang tidak bisa dikomposkan akan terpisahkan di
ujung akhir kiln.
− Metode Siloda adalah menggunakan alat yang secara
sistematis dan berkala memindahkan kompos ke sisi lain, sehingga terjadi
pengadukan secara sempurna
Limbah b3
•
Pengolahan Limbah Bahan dan Beracun (B3) adalah proses
untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3 menjadi tidak berbahaya
dan/atau tidak beracun
•
Persyaratan
pengolahan limbah B3 meliputi persyaratan :
Lokasi pengolahan limbah
B3; Fasilitas pengolahan limbah B3; Penanganan limbah B3
sebelum diolah; Pengolahan limbah B3; Hasil pengolahan limbah
B3
•
Persyaratan teknis
pengolahan limbah B3 meliputi; Fisika dan kimia .Stabilisasi/solidifikasi .Insinerasi.
Persyaratan Lokasi Pengolahan
Limbah B3
•
Merupakan daerah bebas
banjir;
•
Pada jarak paling dekat
150 meter dari jalan utama/jalan tol dan 50 meter untuk jalan lainnya;
•
Pada jarak paling dekat
300 meter dari daerah pemukiman, perdagangan, rumah sakit, pelayanan kesehatan
atau kegiatan sosial, hotel, restoran, fasilitas keagamaan dan pendidikan;
•
Pada jarak paling dekat
300 meter dari garis pasang naik laut, sungai, daerah pasang surut, kolam,
danau, rawa, mata air dan sumur penduduk;
•
Pada jarak paling dekat
300 meter dari daerah yang dilindungi (cagar alam, hutan lindung dan
lain-lainnya).
•
Pengolahan Limbah B3
Secara Fisika dan Kimia
Þ
Proses pengolahan secara
kimia antara lain; Solidifikasi/Stabilisasi, Pirolisa
Þ
Proses pengolahan secara
fisika antara lain
Thickening,Flotasi
•
Proses
stabilisasi/solidifikasi adalah suatu tahapan proses pengolahan limbah B3 untuk
mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui upaya
memperkecil/membatasi daya larut, pergerakan/penyebaran dan daya racunya
(immobilisasi unsur yang bersifat racun) sebelum limbah B3 tersebut dibuang ke
tempat penimbunan akhir (landfill)
•
Prinsip kerja
stabilisasi/solidifikasi adalah pengubahan watak fisik dan kimiawi limbah B3
dengan cara penambahan senyawa pengikat (aditif) sehingga pergerakan
senyawa-senyawa B3 dapat dihambat atau terbatasi dan membentuk ikatan massa
monolit dengan struktur yang kekar
(massive).
•
Bahan-bahan yang biasa
digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi (bahan aditif) antara lain:
1). Bahan pecampur:
gipsum,pasir, lempung,abu terbang , dan
2). Bahan perekat/pengikat:
semen,kapur,tanah liat dll.
•
Tata cara kerja
stabilisasi/solidifikasi:
–
Limbah B3 sebelum
distabilisasi/solidifikasi harus dianalisa karakteristiknya guna menentukan
resep stabilisasi/solidifikasi yang diperlukan terhadap limbah B3 tersebut;
–
Setelah dilakukan
stabilisasi/solidifikasi,selanjutnya terhadap hasil olahan tersebut dilakukan
uji TCLP untuk mengukur kadar/konsentrasi parameter dalam lindi
(extract/eluate) sebagaimana yang tercantum dalam tabel satu keputusan ini.
Hasil uji TCLP sebagai mana dimaksud , kadarnya tidak boleh melewati ambang
batas sebagaimana ditetapkan dalam tabel satu.
–
Terhadap hasil
olahan tersebut selanjutnya dilakukan uji kuat tekan (compressive strength)
dengan “Soil penetrometer test “ dengan harus mempunyai tekanan nilai minimum
sebesar 10 ton/m2 dan lolos
uji “ paint filter test,”
–
Limbah B3 olahan yang
memenuhi persyaratan kadar TCLP, nilai uji kuat tekan dan lolos paint filter
test; selanjutnya harus ditimbun ditempat penimbunan (landfill) yang ditetapkan
pemerintah atau yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
IPLT
•
Instalasi pengolahan lumpur
tinja, yang selanjutnya disebut IPLT adalah instalasi pengolahan air limbah yang didesain
hanya menerima Lumpur tinja melalui mobil atau gerobak tinja (tanpa perpipaan);
•
Lumpur tinja adalah seluruh isi tangki
septic, cubluk tunggal atau endapan Lumpur dari underflow unit pengolah air
limbah lainnya yang pembersihannya dilakukan dengan mobil;
•
Sistem yang dapat digunakan dapat dilihat pada gambar 1
dengan aplikasi seperti berikut:
(1) alternatif pilihan I
digunakan untuk pelayanan maksimal 50.000 orang, kondisi tanah cukup kedap dan
jarak IPLT ke permukaan terdekat minimal 500 m;
(2) alternatif pilihan II
digunakan untuk pelayanan maksimal 100.000 orang, kondisi tanah cukup kedap dan
jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m;
(3) alternatif pilihan III
digunakan untuk pelayanan maksimal 100.000 orang, kondisi tanah cukup kedap dan
jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 250 m.
Data yang diperlukan untuk
keperluan perencanaan meliputi;
(1) Peta wilayah yang
dilengkapi topografi;
(2) Data sosial ekonomi;
(3) Geologi, hidrologi dan
hidrogeologi, seperti:
a. Jenis tanah (pasir, lempung,
lanau) dan angka permeabilitas tanah di lokasi IPLT;
b. Suangi atau badan air yang
dipakai sebagai pembuangan akhir efluen sistem pengolahan. Letak dalam peta,
debit dan kualitas (minimal dan maksimal);
c. Jarak kegiatan lain ke IPLT
dan pemanfaatannya dikaitkan dengan pengaliran air tanah;
d. Elevasi air tanah dan arah
pengalirannya;
e. Air tanah yang digunakan
penduduk di sekitar IPLT.
(4) Data kondisi sanitari yang
ada, seperti:
a. Tingkat pelayanan;
b. Jumlah, macam dan
kualitas fasilitas sanitasi.
Kriteria kuantitas dan kualitas lumpur tinja
yang akan diolah:
(1) Laju/kapasitas lumpur tinja
(cairan dan endapan) = 0,5 l/org.hari
(2) KOB = 5.000 mg/l
(3) TS = 40.000 mg/l
(4) TVS = 25.000 mg/l
(5) TSS = 15.000 mg/l
Kebutuhan unit bangunan atau
pelengkap lainnya terdiri dari:
(1) Platform (dumping station):
a. Dibuat khusus pada kolam stabilisasi anaerobik yang
tidak didahului oleh tangki imhoff;
b. Sebagai bagian dari sumur pompa, pada tangki imhoff
yang tidak dilengkapi ram (tanjakan truk tinja);
c. Sebagai bagian dari inlet tangki imhoff yang
dilengkapi ram.
(2) Bak pengering lumpur;
(3) Kantor, gudang dan lab;
(4) Jalan masuk dan jalan operasi;
(5) Sumur monitoring kualitas
air tanah;
(6) Fasilitas air bersih;
(7) Alat pemeliharaan dan
keamanan.
Kriteria perencanaan tangki
imhoff
(1) Jumlah kompartemen dalam
satu tangki, maksimum 2 unit;
(2) Kedalaman tangki total,
sekitar (6-9) m, dengan rincian sebagai berikut:
a.
Zona sedimentasi = (1,5-2) m;
b. Zona netral ≥ 0,54 m;
c.
Zona lumpur harus dikalkulasi, dan ditambahkan pada zona-zona sedimentasi dan
netral.
(3) Zona sedimentasi:
a.
Tinggi jagaan = (0,20-0,30) m;
b. Panjang = (7-30) m;
c. Rasio panjang dan lebar = (2-4) : 1;
d. Kemiringan dasar tangki = (50-60)° atau ≥ 1,2 (V) : 1
(H);
e. Lebar slot = (15-20) cm;
f. Overhang = (20-25) cm;
g.
Kecepatan aliran horizontal < 1 cm/det;
h.
Beban permukaan ≤ 30 m3/(m2.hari)
i. Waktu detensi ≥ 1,5 jam;
j.
Efisiensi pemisahan TSS = (40-60) %.
(4) Zona lumpur:
a. Dapat dibuat menjadi beberapa unit ke arah memanjang
tangki yang dilengkapi penampung lumpur dan pipa pengambilan lumpur;
b. Penampung lumpur hanya dipisahkan oleh sekat beton
yang berfungsi juga sebagai penyangga bak pengendap; dan di sebelah bawah sekat
diberi sebuah lubang penghubung;
c. Kemiringan penampung lumpur, minimal 30° atau ≥ 1
(V) : 1,7 (H);
d.
Laju endapan lumpur = 0,06 l/orang/hari;
e. Waktu detensi = (1-2) bulan;
(5) Ventilasi gas:
a. Luas permukaan total ventilasi gas (25-30) % terdapat
luas permukaan bak pencerna;
b. Lebar ventilasi gas pada satu sisi (45-60) cm,
dan/atau luas permukaan total ventilasi gas ≥ 20% dari luas total permukaan
tangki imhoff.
(6) Pipa lumpur:
a. Diameter minimal 15 cm;
b. Kemiringan pipa pembuangan dan penyalur lumpur
(underflow), minimal 12%;
c. Jarak vertikal antara outlet pembuangan lumpur dan
level permukaan air, minimal 1,8 m;
d. Pipa lumpur vertikal diperluas ke atas permukaan air ±
30 cm dalam keadaan terbuka, dan di sebelah ujungnya (di dasar tangki) diberi
blok beton).
--Kriteria perencanaan kolam
stabilisasi anaerobik
(1) Kedalaman air = (1,8-2,5)
m;
(2) Jagaan = (0,3-0,5) m;
(3) Beban BOD volumetrik =
(500-800) g BOD/(m3.hari)
(4) Rasio panjang dan lebar =
(2-4) : 1;
(5) Efisiensi pemisahan BOD ≥
60%.
Kriteria perencanaan inlet dan
outlet kolam:
(1) Panjang pipa inlet kolam
stabilisasi dipasang hingga 1/3 panjang kolam atau maksimal 15 m;
(2) Konstruksi interkoneksi
antar kolam dimudahkan untuk pengambilan sampel air limbah.
---Kriteria
perencanaan kolam stabilisasi fakultatif
(1)
Kedalaman air = (1,2-1,8) m;
(2)
Tinggi jagaan = (0,3-0,5) m;
(3)
Beban BOD volumetrik = (40-60) g BOD/m3.hari);
(4)
Rasio panjang dan lebar = (2-4) : 1;
(5)
Efisiensi pemisahan BOD ≥ 70%;
(6)
BOD influen ≤ 400 mg/l;
(7) BOD efluen > 50 mg/l.
---Kriteria perencanaan kolam maturasi
(1)
Kedalaman air = (0,8-1,2) m;
(2)
Tinggi jagaan = (0,3-0,5) m;
(3)
Beban BOD volumetrik = (40-60) g BOD/(m3.hari);
(4)
Rasio panjang dan lebar = (2-4) : 1;
(5)
Efisiensi pemisahan BOD ≥ 70%;
(6)
Efisiensi pemisahan E. Coli ≥ 95% (termasuk kolam-kolam sebelumnya).
--Kriteria perencanaan kolam aerasi
(1)
Kedalaman air = (1,8-2,50) m;
(2)
Jagaan = (0,3-0,5) m;
(3)
Beban BOD volumetrik = (100-400) g BOD/(m3.hari);
(4)
Rasio panjang dan lebar = (2-4) : 1;
(5)
Efisiensi pemisahan BOD ≥ 70%;
(6)
Tenaga pengadukan:
a. > 6 W/m3 untuk kolam aerasi
aerobik;
b. (2-3) W/m3 untuk kolam aerasi
fakultatif
(1)
Lebar sebuah bak = (4,50-7,50) m;
(2)
Panjang sebuah bak = (3-6) x lebar;
(3)
Ketinggian dinding bak = 45 cm di atas pasir;
(4)
Tinggi jagaan = (15-25) cm;
(5)
Dinding bak bisa dibuat dari beton, pasangan bata dengan spesi semen;
(6)
Pipa pemberi yang membawa sludge ke tepi bak berdiameter ≥ 150 mm dan dari
bahan GI;
(7)
Pipa distributor mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Dipasang di atas (di salah satu
sisi) dinding memanjang tiap kompartemen;
b. Diameter ≥ 150 mm;
c. Bahan GI;
d. Bila menggunakan bahan pipa dari
PVC harus ditanam dalam dinding;
(8)
Pipa pembuang dipasang pada drainase bak dengan diameter minimal 15 cm;
(9)
Kadar air lumpur kering optimal = (70-80) %;
(10)
Tebal lumpur kering di atas pasir = (20-30) cm;
(11)
Tebal lumpur basah di atas pasir = (30-45) cm;
(12)
Media pasir yang dipasang pada lapisan teratas mempunyai kriteria seperti
berikut:
a. Ukuran efektif = (0,30-0,50) mm;
b. Koefisien keseragaman ≤ 5;
c. Tebal pasir = (15,0-22,5) cm;
d. Kandungan kotoran ≤ 1 % terhadap
volume pasir.
(13)
Media kerikil yang dipasang dalam dua lapis di bawah asir dengan urutan dari
atas sebagai berikut:
a. Diameter (3-6) mm dipasang 15 cm
di atas dasar bak;
b. Diameter (20-40) mm dipasang
setebal 15 cm di atas pipa penangkap di kanan-kiri pipa penangkap setebal
diameternya (10-15) cm.
(14)
Pipa peluap dengan diameter (100-150) mm dipasang pada dinding bak.
---Kriteria perencanaan bak pengering
lumpur
(1)
Lebar salah satu sisi tanggul minimal 2,5 m sebagai jalan operasi;
(2)
Kemiringan dinding tanggul bagian dalam 1 (V) : 2,5 (H) dan bagian luar 1 (V) :
1,5 (H);
(3)
Kepadatan konstruksi tanggul mempunyai densitas kering maksimal sebesar 90%
yang ditentukan dengan tes modifikasi proktor. Shrinkage tanah yang terjadi
pada saat pemadatan harus sekitar (10-30)%. Koefisien permeabilitas tanggul
padat tidak boleh lebih dari 10-7 m/detik.
(4)
Persyaratan permeabilitas tanah untuk penyediaan lining:
a. k ≥ 10-6 m/detik, seluruh kolam
perlu dilining;
b. k = (10-7-10-6) m/detik. Kolam
primer dan sekunder perlu dilining;
c. k ≤ 10-8 m/detik, kolam tidak
perlu diberi lining.
Profil
hidrolis
(1)
Beda elevasi muka air antar kolam (5-10) cm;
(2)
Elevasi dasar pengering lumpur harus lebih tinggi daripada muka air kolam
stabilisasi anaerobik I atau kolam aerasi aerobik;
(3)
Elevasi muka air tangki imhoff harus lebih tinggi minimal 1,8 m di atas pipa
inlet pengering lumpur;
(4)
Elevasi muka air sumur pompa harus lebih tinggi daripada muka air di kolam
stabilisasi anaerobik I atau kolam aerasi aerobik;
(5)
Elevasi muka air maksimal badan air penerima 0,50 m di bawah outlet kolam
maturasi atau lebih dalam.
--Perencanaan Profil Hidrolis
Penerapan
profil hidrolis tersebut harus disesuaikan dengan:
(1)
Elevasi muka tanah asli hingga diperoleh pekerjaan gali urug yang murah;
(2)
Elevasi maksimal badan-badan air penerima
==== insinerasi
§ Insinerasi adalah metode
pengolahan sampah dengan cara membakar sampah pada suatu tungku pembakaran.
§ Teknologi insinerasi merupakan
teknologi yang mengkonversi materi padat menjadi materi gas (gas buang), serta
materi padatan yang sulit terbakar, yaitu abu (bottom ash) dan debu (fly
ash).
§ Panas yang dihasilkan dari
proses insinerasi juga dapat dimanfaatkan untuk mengkonversi suatu materi
menjadi materi lain dan energi, misalnya untuk pembangkitan listrik dan air
panas.
§ Di beberapa negara maju,
teknologi insinerasi sudah diterapkan dengan kapasitas besar (skala kota).
§ Teknologi insinerator skala
besar terus berkembang, khususnya dengan banyaknya penolakan akan teknologi ini yang dianggap
bermasalah dalam sudut pencemaran udara.
§ Salah satu kelebihan yang
dikembangkan terus dalam teknologi terbaru dari insinerator ini adalah
pemanfaatan enersi, sehingga nama insinerator cenderung berubah seperti waste-to-energy,
thermal converter
§ Insinerasi merupakan proses
pengolahan buangan dengan cara pembakaran pada temperatur yang sangat tinggi
(>800ºC) untuk mereduksi sampah yang tergolong mudah terbakar (combustible),
yang sudah tidak dapat didaurulang lagi
§ Sasaran insinerasi adalah untuk
mereduksi massa dan volume buangan, membunuh bakteri dan virus dan meredukdi materi
kimia toksik, serta memudahkan penanganan limbah selanjutnya. Insinerasi dapat
mengurangi volume buangan padat domestik sampai 85-95 % dan pengurangan berat sampai
70-80%.
§ Teknologi insinerasi mempunyai
beberapa sasaran, yaitu:
§ a. Mengurangi massa / volume:
proses insinerasi adalah proses oksidasi (dengan oksigen atau udara) limbah combustible
pada temperatur tinggi. Akan dikeluarkan abu, gas, limbah sisa pembakaran dan
abu, dan diperoleh pula enersi panas. Bila pembakaran sempurna, akan tambah
sedikit limbah tersisa
dan gas yang belum sempurna terbakar (seperti CO). Panas yang tersedia dari
pembakaran
limbah sebelumnya akan berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar yang dipasok.
Insinerator yang bekerja
terus menerus akan menghemat bahan bakar.
§ b. Mendestruksi komponen
berbahaya: insinerator tidak hanya untuk membakar sampah kota. Sudah diterapkan
untuk limbah non-domestik, seperti dari industri (termasuk limbah B3), dari
kegiatan medis (untuk limbah infectious). Insinerator tidak hanya untuk
membakar limbah padat. Sudah digunakan untuk limbah non-padat, seperti sludge
dan limbah cair yang sulit terdegradasi. Teknologi ini merupakan sarana standar
untuk menangani limbah medis dari rumah sakit. Sasaran utamanya adalah
mendestruksi patogen yang berbahaya seperti kuman penyakit menular. Syarat
utamanya adalah panas yang tinggi (dioperasikan di atas 800o C). Dalam hal ini limbah
tidak harus combustible,
sehingga dibutuhkan subsidi bahan bakar dari luar
§ c. Insinerasi adalah identik
dengan combustion, yaitu dapat menghasilkan enersi yang dapat dimanfaatkan.
Faktor penting yang harus diperhatikan adalah kuantitas dan kontinuitas limbah
yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup untuk menghasilkan enersi secara
kontinu agar suplai enersi tidak terputus.
§ Teknologi ini mampu melakukan
reduksi volume sampah namun teknologi insinerasi membutuhkan biaya investasi,
operasi, dan pemeliharaan yang cukup tinggi.
§ Fasilitas pembakaran ini
dianjurkan hanya digunakan untuk memusnahkan/membakar sampah yang tidak bisa
didaur ulang, ataupun tidak layak untuk diurug.
§ Alat ini harus dilengkapi
dengan sistem pengendalian dan kontrol untuk memenuhi batas-batas emisi
partikel dan gas-buang sehingga dipastikan asap yang keluar dari tempat
pembakaran sampah merupakan asap/gas yang sudah netral.
§ Abu yang dihasilkan dari proses
pembakaran bisa digunakan untuk bahan bangunan, dibuat bahan campuran kompos,
atau dibuang ke landfill.
§ Proses insinerasi berlangsung
melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:
§
Mula-mula membuat
air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering yang akan siap
terbakar.
§
Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran
tidak sempurna, dimana temperatur belum terlalu tinggi
§
Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna.
§ Agar terjadi proses yang
optimal maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam menjalankan suatu
insinerator, antara lain:
§
Aspek keterbakaran: menyangkut nilai kalor, kadar air,
dan kadar abu dari buangan padat, khususnya sampah.
§
Aspek keamanan: menyangkut titik nyala, tekanan uap,
deteksi logam berat, dan operasional insinerator.
§
Aspek pencegahan pencemaran udara : menyangkut penanganan
debu terbang, gas toksik, dan uap metalik.
§ Terdapat 3 parameter utama
dalam operasi insinerator yang harus diperhatikan, yaitu 3-T (Temperature,
Time dan Turbulence):
§
Temperature (Suhu): Berkaitan dengan pasokan oksigen (melalui udara). Udara yang dipasok
akan menaikkan temperature karena proses oksidasi
materi organik bersifat eksotermis. Temperatur ideal untuk sampah kota tidak
kurang dari 800 oC.
§
Time (waktu): Berkaitan dengan lamanya fasa gas yang
harus terpapar dengan panas yang telah ditentukan. Biasanya sekitar 2 detik pada
fase gas, sehingga terjadi pembakaran sempurna.
§
Turbulensi: Limbah harus kontak sempurna dengan oksigen.
Insinerator besar diatur dengan kisi-kisi atau tungku yang dapat bergerak, sedang
insinerator kecil (modular) tungkunya adalah statis.
§ Skema insinerator kapasitas
besar untuk sampah kota umumnya terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut:
§
Unit Penerima: perlu untuk menjaga kontinuitas suplai
sampah.
§
Sistem Feeding/Penyuplai: agar instalasi terus bekerja
secara kontinu tanpa tenaga manusia.
§
Tungku pembakar: harus bisa mendorong dan membalik
sampah.
§
Suplai udara: agar tetap memasok udara sehingga sistem
dapat terbakar. Pasokan udara daribawah adalah suplai utama. Udara sekunder
perlu untuk membakar bagian-bagian gas yang tidak sempurna.
§
Kebutuhan udara:
tergantung dari jenis limbah
§
Pembubuhan air: mendinginkan residu/abu dan gas yang akan
keluar stack agar tidak mencemari lingkungan.
§
Unit pemisah: memisahkan abu dari bahan padat yang lain.
§
APC (Air Pollution Control): terdapat beragam
pencemaran yang akan muncul, khususnya: Debu atau partikulat, Air asam, Gas
yang belum sempurna terbakar: CO, Gas-gas hasil pembakaran seperti CO2, NOx ,
SOx, Dioxin, Panas. Setiap jenis pencemar, membutuhkan APC yang sesuai pula,
sehingga bila seluruh jenis pencemar ini ingin dihilangkan, maka akan
dibutuhkan serangkaian unit-unit APC yang sesuai. Pada insinerator modular yang
sering digunakan di kota-kota di Indonesia, dapat dikatakan sarana ini belum dilengkapi unit APC,
paling tidak untuk mengurangi partikel-partikel debu yang keluar.
§
Cerobong (stack): semakin tinggi akan semakin baik,
terutama untuk daerah sekitarnya, tetapi tidakberarti tidak mengotori
udara. Dengan cerobong yang tinggi maka terjadi pendinginan-pengenceran.
§
Dinding insinerator harus tahan panas, dan tidak
menyalurkan panas keluar.
§ Nilai kalor sampah Indonesia
mencapai 1.000 – 2.000 kkal/kg-kering.
§ Proses insinerasi ekonomis bila
sampah memiliki nilai kalor paling tidak 2.000 kkal/kg-kering, sehingga tidak dibutuhkan
enersi tambahan dari luar.
§ Kebutuhan oksigen dan nilai
kalor yang dikandungnya dapat dihitung berdasarkan metode pendekatan kadar
unsur sampah, misalnya dengan rumus kimia sampah Indonesia dengan dominasi
rata–rata kandungan sampah organik sekitar 60%, sampah plastik 17%, dan sampah kertas 16% adalah
C351,42H2.368,63O1.099,65N13,603S.
Insinerator dapat dibagi
berdasarkan perbedaan:
a. Cara pengoperasian: batch
atau kontinu
b. Tungku yang digunakan:
− Statis (insinerator modular atau kecil, seperti
insinerator RS)
− Mechanical stoker : biasanya untuk sampah kota
− Fluiduized bed :
biasanya untuk limbah homogen
− Rotary kiln : untuk limbah industri (limbah padat
atau cair)
− Multiple hearth :
untuk limbah industri
c. Cara penyuplaian limbah:
dikaitkan dengan fasa limbah (padat, gas, sludge, slurry)
Masing-masing jenis kemudian
berkembang lagi, misalnya dalam insenarator modular dikenal insinerator
kamar-jamak, yang kemudian dibagi lagi menjadi:
- − Multi chambre
- − Multi chambre – starved control-air
Insinerator Modular
Di Indonesia, penggunaan insinerator skala kota baru
dilaksanakan di Surabaya. Namun karena permasalahan teknis yang sejak awal
telah terjadi, insinerator ini cendererung kurang berfungsi.
Insinerator skala modular (skala kecil), banyak dicoba di
beberapa kota di Indonesia, walaupun ternyata mengalami beberapa permasalahan,
seperti mahalnya biaya operasi, timbulnya permasalahan lingkungan yang terlihat nyata secara
visual seperti asap dan bau.
Beberapa informasi di bawah ini menjelaskan secara ringkas tentang
insinerator jenis modular dengan:
a. Pemasokan limbah dapat dilakukan:
− Secara manual:
khususnya untuk insinerator kecil
− Secara
mekanis/hidrolis: memperpanjang waktu operasi
− Bila pemasokan
limbah dilakukan secara kontinu tanpa mematikan dan mendinginkan ruang
pembakaran, akan dihemat bahan bakar dan kontinuitas operasi dapat dijamin.
b. Pengoperasian:
− Pengoperasian
secara batch dengan pemasokan manual
− Pengoperasian
secara batch dengan pemasokan semi kontinu
− Pengoperasian
secara kontinu: untuk skala di atas 40 ton/hari.
− Pengeluarkan
abu: bila abu dapat dikeluarkan secara terus menerus, ruang pembakaran akan
tetap tersedia untuk limbah yang baru. Pengeluaran abu dapat dilakukan:scra manual, mkanis
c. Insinerator yang paling sederhana adalah 1 kamar.
Selanjutnya dikenal insinerator kamar-jamak dengan sasaran:
− Menghemat bahan
bakar
− Menghemat enersi
untuk suplai udara
− Mempertahan
temperatur
− Kontrol
pencemaran udara
d. Kapasitas nominal tungku pembakaran: dinyatakan
sebagai Kg/jam, Ton/hari atau m3/jam untuk 8 jam kerja per shift. Kapasitas pembakaran
biasanya digunakan tidak lebih dari 75%.
e. Pasokan oksigen dilakukan dengan memasukkan udara
secara:
− Manual: untuk
insinerator sederhana
− Blower: memasok
udara dengan debit tetap atau debit yang disesuaikan dengan kebutuhan.
f. Limbah yang baru dimasukkan (dingin) membutuhkan
pasokan api melalui burner (pembakar bahan bakar). Bila limbahnya combustible
maka limbah selanjutnya berfungsi sebagai bahan bakar. Jumlah burner, konsumsi
dan jenis bahan bakar, perlu diperhatikan dalam memilih incinerator. Tambah besar
kapasitas insinerator, tambah sedikit bahan bakar yang dibutuhkan per satuan
limbah yang akan dibakar.
g. Dinding Isolasi panas berfungsi untuk menghemat bahan
bakar dan mempertahankan temperatur. Dinding insinerator yang baik biasanya
berlapis-lapis, yang terdiri dari:
ú
Lapis luar: baja tahan karat dengan ketebalan tertentu
(mis 6 mm), dicat dengan cat tahan temperatur tinggi
ú Lapis tengah: isolator panas
dengan ketebalan tertentu, dengan baha seperti asbes, atau kalsium silikat dsb
ú Lapis dalam: langsung kontak
dengan temperatur tinggi, misalnya dari bahan bata tahan api
h.
Tinggi dan bahan cerobong: tambah tinggi cerobong, udara panas yang keluar akan
tambah terencerkan dan tersebar secara baik di lingkungan.
i.
Panel pengontrol dan petunjuk: digunakan untuk mengetahui debit udara,
temperatur, alat untuk mengontrol waktu operasi (timer), dsb.
j.
Bangunan pelindung: untuk melindungi dari hujan dsb
k.
Perlengkapan pengendali pencemaran udara: biasanya dijual terpisah dari
insinerator. Dikenal beberapa pengontrol, seperti: pengontrol partikulat (bag
house, scruber, dsb), pengontrol uap asam (scruber basa, dsb),
pengontrol gas-gas spesifik, dsb.
Recovery
Panas dan Permasalahan Lingkungan
§ Enersi panas yang dapat
dikonversi menjadi listrik dan recovery panas merupakan salah satu keunggulan
yang ditawarkan dari insinerator jenis baru.
§ Enersi tersebut berasal dari
panas dalam tungku, yang biasanya didinginkan dengan air, dan uap air yang
terjadi dapat digunakan sebagai penggerak
turbin pembangkit listrik.
§ Namun perlu pemahaman bahwa:
ú Produk panas yang nanti
dikonversi menjadi listrik, akan tergantung dari nilai kalor sampah itu sendiri. Nilai kalor sampah
Indonesia biasanya sulit mencapai angka 1200 Kcal/kg-kering, bandingkan dengan
sampah dimana teknologi insinerator itu berasal, yaitu paling tidak 2000-2500
kkal/kg-kering. Komponen sampah yang dikenal mempunyai nilai kalor tinggi
adalah kertas dan plastik. Dilemna yang muncul adalah, bila yang dikejar adalah
nilai kalor tinggi, maka upaya daurulang tidak mendukung teknologi ini.
ú Sampah Indonesia mengandung
banyak sisa makanan (bisa mencapai 70%) yang dikenal mempunyai kadar air
tinggi. Ditambah musim hujan, serta sistem pewadahan sampah yang tidak tertutup, akan menambah tingginya kadar air.
Secara logika, tambah tinggi kadar air, maka akan tambah banyak enersi yang
dibutuhkan untuk memulai sampah itu terbakar.
ú Proses termal menawarkan
destruksi massa limbah secara cepat. Namun semua proses termal tetap akan
menghasilkan residu ( bagian non-combustible) yang tidak bisa terbakar pada
temperatur operasi. Tambah tinggi panas, maka residu-nya akan tambah
sedikit. Residu ini berada dalam bentuk abu, debu dan residu lain. Abu biasanya
dikenal mempunyai potensi sebagai bahan bangunan, karena mengandung silikat
tinggi. Sampah Indonesia mengandung abu sampai mencapai 30% berat. Debu atau
partikulat akan merupakan salah satu permasalahan pencemaran udara yang perlu
diperhatikan. Biasanya jalan terakhir yang dilakukan adalah diurug
ú Dalam proses termal, beberapa
logam berat yang berada dalam sampah, akan teruapkan seperti Zn dan Hg, yang
tergantung dari titik uapnya. Merkuri (Hg) pada temperatur kamarpun akan
menguap. Tambah tinggi temperatur, akan tambah banyak jenis logam berat yang
akan menguap. Agak sulit menangani jenis pencemar ini.
ú Dioxin akan muncul sebagai
proses antara dalam pembakaran material, bukan hanya pada insinerator. Tambah
tinggi temperatur, maka biasanya tambah sedikit bahan antara ini. Bila terjadi
kegagalan dalam mempertahankan panas, atau pada awal operasi atau di akhir
operasi, dimanatemperatur berada pada level yang rendah, maka masalah ini dapat
muncul.
ú Apapun teknologinya, maka dalam
proses oskidasi (pembakaran) akan dihasilkan produk oksidasi, yang diantaranya
berupa gas-buang. Bila sistem tidak tercampur sempurna dan pembakaran menjadi
tidak sempurna, maka akan dihasilkan gas-gas yang belum terbakar sempurna.
ú Bila material berbasis khlor
terbakar, maka akan dihasilkan produk gas khlor, yang sangat berbahaya karena
korosif maupun karena toksik. Namun dengan adanya uap air, gas yang sangat
reaktif ini dengan mudah menangkap uap air menjadi HCl. Ini juga perlu
diklarifikasi dalam teknologi yang ditawarkan dalam air pollution control,
guna mengurangi terjadinya hujan asam.
ú Bila pemanasan dilakukan tanpa
oksigen, maka proses ini dikenal sebagai pirolisis. Modivikasi daripirolisis
adalah gasifikasi yang memasukkan sedikit udara dalam proses. Akan dihasilkan 3
jenis produk,
yaitu (a) gas hasil oksidasi tanpa oksigen seperti CH4 dan H2 (b) C2H4
(ethyelene) dan tar dan (c) arang atau karbon.
Seperti halnya insinerasi, maka karena yang digunakan sebagai bahan adalah sampah yang sangat
heterogen, maka akan dihasilkan by-product lain seperti gas pencemar, dioxin,
residu yang belum dapat terurai. Proporsi produk yang dihasilkan (gas, cair
atau padat) tergantung dari temperatur dan waktu pembakaran.
ú Terdapat serangkaian upaya
konversi enersi dalam sistem insinerator penghasil panas, mulai dari combustor
– boiler – steam generator sampai ke electric generator, yang tidak akan mampu mengkonversi enersi secara
mulus 100%. Bila sampah yang digunakan adalah sejenis sampah di negara industri, maka enersi
listrik sebesar 20 MW/1000 ton-kering sampah dapat dicapai. Dengan kondisi
sampah Indonesia yang mempunyai nilai kalor hanya sekitar 1000 kkal/kg-kering,
apalagi bila kertas dan plastiknya dikeluarkan untuk didaur-ulang, serta kadar
air yang cukup tinggi, maka sebetulnya berdasarkan perhitungan yang
konvensional akan diperoleh paling sekitar 4 MW per kg sampah-basah
ú Wte inggris
ú Sebagian lagi dikirimkan ke sebuah tempat bernama incinerator atau tempat pembakaran sampah untuk
dimusnahkan dengan cara dibakar dengan menggunakan incinerator .
ú Incinerator ini diperlukan untuk membantu mengurangi volume sampah yang
terus menggunung di landfill. Karena proses
pembusukan sampah juga memerlukan waktu cukup lama, kadang-kadang keterbatasan
lahan landfill mengharuskan sebagian
volume sampah harus dibakar.
ú Incinerator dikelola sedemikian rupa agar panas dari pembakaran bisa
dimanfaatkan dan didaur ulang untuk sumber energi atau pemanas, sedangkan gas
buang dari cerobongnya diolah terlebih dahulu agar kandungan bahan-bahan
berbahaya yang bisa mencemari udara bisa ditekan sekecil-kecilnya atau
dihilangkan sama sekali. Hal ini juga sudah diatur dengan ketat oleh Uni Eropa
dan semua negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa wajib mematuhinya.